Sepasang tangan ini adalah doa, saat kebahagiaan dan kesedihan tiba. Bermunajat di antara celah kefanaan dan kesementaraan, di antara kedatangan dan kepergian.
“Musim apalagi yang kau tunggu, cinta hanya menunda kecemasanku”, katamu pada suatu waktu.
“Sepasang tanganku berdoa; musim tak akan pernah ada!”, kataku, mencoba mengelabuhi waktu.
Lalu angin menerbangkan kesunyianku, dan juga kesunyianmu, pada sesuatu yang asing. Sesuatu yang tak pernah tunduk kepada waktu, sesuatu yang cinta sendiri pun tak pernah tahu.
“Bukankah kita hanyalah sepasang kesedihan yang saling menentramkan?”, tanyamu pada sepiku.
“Lalu, siapa yang abadi; jika cinta hanya mengajarkan ketabahan saat kehilangan?”, tanyaku, sambil sesekali mencoba menghentikan detak waktu.
“Tak ada yang abadi; selain sunyi, selain puisi…”